SI KANCIL YANG CERDIK
Pagi kembali datang dengan senyum cerah di wajah langit. Semua penghuni hutan pun seketika terbangun dari tidur panjangnya. Kancil, Kerbau, Kelinci, Badak, dan binatang-binatang lain menyambut pagi dengan menari-nari riang. Burung-burung pun mengiringi dengan kicau merdu mereka.
Hari beranjak siang. Para binatang kini melakukan aktivitas masing-masing. Kerbau, Kuda, dan Kambing menuju padang rumput. Burung-burung terbang ke segala arah mencari biji-bijian untuk keluarganya. Sementara itu, Kancil terlihat bingung. Mau bergabung dengan Kambing rasanya malas. Dia sudah bosan makan rumput. Dia ingin makan buah.
“Aku akan masuk ke hutan. Kemarin aku lihat ada buah mangga yang sudah matang,” katanya kepada dirinya sendiri sambil mulai berjalan.
“Tapi aku tidak bisa memanjat. Bagaimana ya?”
Si Kancil tertegun sesaat, tapi sebentar kemudian ia tersenyum. Ia sudah menemukan ide untuk mengambil buah itu dari pohonnya. Ya, ia akan mengajak si Monyet, sahabatnya.
Akhirnya dia berbalik arah menuju kediaman si Monyet. Dengan senang hati si Monyet mau membantu si Kancil. Mereka pun beriringan menuju tempat yang dimaksud oleh si Kancil.
“Lihat! Mangganya sudah banyak yang matang!” tunjuk Kancil kepada Monyet.
“Baiklah, aku akan segera memanjat,” sahut si monyet dengan mata yang tidak berkedip melihat banyaknya buah mangga ranum di atas pohon itu. Tanpa menunggu lama, Monyet mulai memanjat.
Dalam sekejap si Monyet telah berada di atas pohon. Ketika melihat dan merasakan nikmatnya buah mangga yang bergelantungan itu, sifat rakusnya kambuh. Si Monyet berniat mengambil semua mangga itu untuk dia makan sendiri.
“Cepat petikkan aku satu buah. Aku sudah tidak sabar lagi!” kata si Kancil dengan air liur yang mulai menetes. Dia sudah tidak sabar ingin makan buah yang ranum itu.
“Enak saja! Aku yang susah-susah memanjat, kau seenaknya meminta!” jawab si Monyet sambil memamerkan buah di tangannya, lalu memakannya dengan rakus.
Kancil yang merasa ditipu menjadi marah. Dia mencari akal supaya si Monyet memberinya mangga. Setelah berpikir sejenak, dia pun menemukan sebuah ide. “Jangan sebut aku Kancil kalau aku kalah dari Monyet yang bodoh itu,” batinnya.
Si Kancil yang cerdik itu memungut beberapa kerikil. Dengan kekuatan penuh, dia lemparkan kerikil-kerikil itu ke tubuhMonyet. Meski kerikil itu mengenai tubuh si Monyet, dia tidak merasa kesakitan. Si Monyet hanya terkikik karena merasa geli. Karena tidak mempan, Kancil pun kemudian mengambil sebuah batu yang agak besar.
“Aduuh!” teriak si Monyet ketika batu itu mengenai tubuhnya. Hewan rakus itu tampak marah. Melihat reaksi si Monyet, Kancil tampak senang. Dia kembali melempar sebuah batu, kali ini dengan lebih keras. Pancingan si Kancil berhasil. Monyet menjadi tambah marah. Karena di atas pohon tidak ada batu maka apa pun dilemparkannya ke bawah. Daun, ranting, dan juga dahan-dahan kecil.
“Tidak sakit!” kata kancil mengejek kawannya yang berkhianat itu. “Kalau kau hanya melemparku dengan ranting, apalagi daun, tentu saja tidak sakit. Kalau berani, coba pakai mangga!” lanjut kancil.
Si Monyet pun kehilangan akalnya. Dia segera memetik mangga-mangga itu dan dengan tenaga penuh dia melemparkannya ke arah si Kancil. Kancil tampak sesekali mengelak sambil mengumpulkan buah itu.
“Ayo! Lempar aku pakai mangga yang besar!” kembali Kancil mengejek si Monyet.
Sambil bersungut-sungut Monyet terus melempar. Kali ini dia melempar dengan mangga yang besar dan ranum. Dengan senang Kancil memunguti buah-buah yang tercecer itu. Dia memilih yang besar dan manis. Dia menaruhnya di sebuah karung yang telah dia sediakan. Setelah terkumpul banyak, dia pun membawa kabur buah itu.
“Selamat tinggal, Monyet. Terimakasih telah membantu memetik mangga untukku!” teriaknya seraya berlari membawa mangga yang telah dikumpulkannya. Sementara si Monyet yang merasa ditipu menjadi sangat marah dan bermaksud mengejar si Kancil. Tapi sayang, Kancil telah menjauh.
KANCIL YANG PEMAAF
Matahari berada tepat di atas kepala. Teriknya membuat semua penghuni hutan menjadi sangat gerah. Ada yang berteduh di bawah pohon, ada pula yang pergi ke danau untuk minum. Saat udara panas, minum air dingin memang terasa sangat menyegarkan.
Di bawah pohon bungur terlihat Kancil sedang asyik merumput. Sungguh nyaman sekali. Tempat di bawah pohon bungur itu memang satu-satunya tempat teduh di padang rumput itu. Biasanya semua hewan saling berebut untuk menempati tempat itu.
“Hai Kancil, apakah kau tidak tahu kalau daerah ini sudah tidak aman lagi. Lekas pergi!” kata Kuda. Hewan yang bisa berlari cepat itu sebenarnya hanya membohongi Kancil. Dia menginginkan tempat teduh yang sedang dipakai Kancil merumput. Sejak tadi dia menunggu giliran, tapi yang ditunggu tidak kunjung pergi. Akhirnya Kuda menjadi tidak sabar lagi.
“Apa katamu? Benarkah?” kata Kancil panik.
“Iya. Kemarin kulihat seekor Singa berkeliaran disini. Kau lihat saja, semua hewan sudah meninggalkan tempat ini,” jawab Kuda. Sekali lagi Kuda membohongi si Kancil.
Sebenarnya bukan itu yng terjadi. Semua hewan meninggalkan tempat itu bukan karena ada Singa, tetapi karena udara yang sangat panas. Mereka sedang berkumpul di pinggir danau yang teduh.
Karena ketakutan, akhirnya Kancil pergi. Sepeninggal Kancil, Kuda tersenyum dan segera berteduh di tempat itu sambil makan rumput sepuasnya.
“Rasakan kau, Kancil. Biasanya Kau yang menipuku, sekarang giliranmu!” katanya penuh bangga.
Si kancil terus berjalan keluar dari padang rumput itu. Namun di tengah jalan, dia mendapati teman-temannya sedang bersantai di tepi danau. Dia pun menjadi berang. Saat dia kembali ke padang rumput, dilihatnya Kuda sedang merumput dengan nikmatnya.
“Ternyata dia menipuku!” kata kancil kepada dirinya sendiri.
Waktu terus berlalu dan musin hujan telah datang. Tidak seperti biasa, musin penghujan kali ini begitu berbeda. Hujan deras terus turun disertai badai yang mengerikan.
Kediaman Kuda dan beberapa hewan lain kebanjiran. Kuda pun kebingungan. Sebenarnya dia ingin pergi ke tempat Kancil, tetapi dia merasa malu. Kuda ingat bahwa beberapa bulan yang lalu dia telah menipu si Kancil.
“Kau pindah ke tempatku saja, Kuda. Di sana aman. Rumahku kan jauh dari sungai,” kata Kancil setelah mengetahui kalau kediaman Kuda kebanjiran.
Kuda terlihat ragu-ragu, tepi kemudian dia mengangguk mantap ketika melihat ketulusan di wajah si Kancil. Rupanya Kancil telah memaafkan ulahnya dulu.
sekian dulu ya manteman, terimakasih sudah mengunjungi blog ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar